PERPECAHAN KETURUNAN SORBA DIBANUA
PERPECAHAN KETURUNAN SORBA DIBANUA
1. Munculnya Kelompok Sobu, Sumba dan Pospos
Pada awalnya, Sorba Dibanua mempunyai seorang isteri. Dalam buku-buku tarombo
dikatakan bahwa, dari isterinya Anting Malela, dia memperoleh lima
anak: Sibagot Nipohan, Paittua, Silahi Sabungan, Siraja Oloan, dan Juara
(Huta Lima). Dapat dikatakan bahwa, dari segi keturunan, Sorba Dibanua
adalah orang na gabe karena ukuran hagabeon dalam adat Batak adalah keturunan yang banyak.
Bila dari segi hagabeon ini,
tidak ada alasan bagi Tuan Sorba Dibanua untuk kawin lagi. Menurut
adat, hanyalah apabila seseorang tidak mempunyai keturunan laki-laki
dibenarkan kawin. Akan tetapi, walau Sorba Dibanua punya banyak anak,
dia kawin lagi dan hal ini menjadi penyebab hubungan
antara isteri pertama bersama anak-anaknya di satu pihak dan isteri
kedua bersama anak-anaknya di pihak lain menjadi renggang.
Ada
cerita yang berkembang tentang perkawinan ini. Suatu ketika, Tuan Sorba
Dibanua jatuh sakit. Berbagai ramuan telah diminum, tetapi penyakitnya
tidak kunjung sembuh. Kemudian, isterinya memanggil namboru-nya
yang berprofesi sebagai sibaso. Sibaso adalah tukang urut yang membantu
seorang ibu pada waktu melahirkan. Lewat urut-mengurut ini, Tuan Sorba
Dibanua akhirnya jatuh hati kepada sibaso tersebut. Hubungan pun
berlanjut, bukan lagi sebatas antara pasien dan sibaso, tetapi lebih
dari itu. Mereka melanjutkannya ke jenjang perkawinan.
Perkawinan kedua Sorba Dibanua menyebabkan hubungan kekeluarga antara kedua wanita tersebut menjadi tidak lagi jelas, karena isteri muda tersebut masih kerabat dekat isterinya atau lebih tepatnya namboru
nya. Bagaimanakah Anting Malela memanggil isteri muda ini? Kalau dia
memanggilnya sebagai adik, tidak mungkin, karena isteri muda tersebut
adalah saudara perempuan ayahnya, atau namboru-nya. Kalau dia memanggilnya namboru, lebih tidak mungkin karena namboru-nya
telah menjadi isteri muda suaminya. Hal ini menyebabkan hubungan di
antara keduanya serba salah. Inilah penyebab hubungan kekeluargaan
mereka dirasakan pahit (paet). Sejak itu, isteri kedua ini dikenal dengan panggilan Siboru Baso Paet. Jadi, tidak seperti yang dikatakan “orang yang sok pintar” bahwa Siboru Baso Paet adalah puteri Majapahit hanya karena ada kata paet dalam nama panggilan boru baso paet.
Untuk
menjaga agar hubungan keduanya tetap berjalan dengan harmonis, Sorba
Dibanua membuka perkampungan baru di Lumban Gala-gala. Di sinilah
isterinya yang kedua ditempatkan, sedangkan isterinya yang pertama
bersama anak-anaknya masih tetap tinggal di Lumban Gorat, Balige. Dari
isterinya yang kedua tersebut, Tuan Sorba Dibanua memperoleh tiga anak:
Sobu, Sumba, dan Pospos. Tuan Sorba Dibanua tetap berupaya untuk
mengakrabkan putera-puteranya dari kedua isteri tersebut dengan cara
bermain bersama, terutama dalam ilmu bela diri. Sayangnya, hal ini
pulalah yang menjadi sumber malapetaka.
Ada
beberapa versi yang tercatat tentang pertikaian di antara kedua
keluarga satu ayah ini, yang menyebabkan mereka menyingkir ke tempat
yang jauh. Versi pertama, menurut Wasinton Hutagalung, berkaitan dengan
suatu kecurangan. Dalam latihan perang-perangan, Juara melakukan
kecurangan dengan mengisi pimping yang menjadi senjatanya
dengan besi. Senjata ini dilemparkan Juara, lalu ditangkap saudaranya
dari keturunan isteri kedua, kemudian dilemparkan lagi ke arah Juara.
Tidak disangka-sangka, pimping yang berisi besi ini menembus
mata Juara. Konon, luka di mata inilah yang menjadi penyebab kematian
Juara kemudian hari. Untuk menghindar dari dendam keturunan isteri
pertama, keturunan isteri kedua pindah ke Humbang dan kemudian bermukim
di sana. Sebagian keturunan isteri kedua ini kemudian pergi ke arah
Porsea.
Versi lain, yang ditulis oleh Raja Patik Tampubolon dalam bukunya Pustaha Tumbaga Holing,
berisikan kisah yang berbeda tentang kepindahan keturunan isteri kedua
tersebut. Dalam bukunya, Raja Patik antara lain mengatakan, “Jolma
na bisuk do Sibagot Nipohan, pangoloi jala porasi roha. Ala ni bisuk na
do umbahen buhar borngin pinompar ni Boru Baso Paet sian tano Balige
Raja. Ndang dohot porang manang bada, angkal do dibahen ibana asa sampak
mudar ni nasida sahuta i, ndang pola dilele, nunga laho maringkati.” Artinya, Sibagot Nipohan adalah orang yang pintar dan baik hati.
Kepintarannya itu digunakan untuk menakut-nakuti keturunan Baso Paet
sehingga mereka meninggalkan Balige Raja, bukan karena permusuhan atau
perang. Dengan akalnya, dia menakut-nakuti keturunan Baso Paet sehingga
mereka lari terbirit-birit. Inilah kebaikan hati versi Raja Patik.
Apa
pun versinya, yang jelas keturunan Siboru Baso Paet dengan terpaksa
minggat ke tempat jauh dan bermukim di sana semata-mata untuk mencegah
pertikaian di antara mereka yang bersaudara tiri. Keturunan Siboru Baso
Paet, sebagaimana ternyata kemudian menjadi marak, sekarang telah
mengisi wilayah-wilayah kosong sampai ke Dolok Sanggul dan
Parlilitan/Dairi.
Belakangan
ini timbul persoalan. Dari wilayah Dairi, muncul kelompok marga yang
mengaku sebagai keturunan Jor Parliman. Mereka adalah marga Maha dan
Sambo, yang menurut pengakuannya adalah keturunan Siraja (Juara) Huta
Lima dari Toba. Hal ini membuat ahli tarombo geger karena, di
Toba, dikabarkan bahwa Raja (Juara) Huta Lima telah mati muda tanpa
keturunan. Muncul dugaan bahwa Juara yang memang suka bertualang ini telah
kawin di tempat lain tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya. Pada waktu
dia pulang ke Balige, karena rindu dengan kampung-halaman, dia juga
bermaksud untuk memberitahukan bahwa di perantauan dia telah berumah
tangga. Sayangnya, kepulangannya hanyalah untuk mengantarkan nyawanya
tanpa sempat memberitahu kepada saudara-saudaranya tentang perkawinan
itu. Kemungkinan besar, sewaktu pulang ke Balige, Juara tidak tahu bahwa
dalam rahim isterinya telah ada janin. Anak Juara ini kemudian diberi
nama Jor Paliman, yang menurunkan dua marga besar di Dairi: Maha dan
Sambo.
2. Munculnya Kelompok Paittua, Silahi Sabungan
dan Raja Oloan
Pohan, anak sulung Tuan Sorba Dibanua, terkenal keras. Itulah sebabnya mengapa namanya diimbuhi dengan bagot
(enau, yang memang pohonnya keras) sehingga, di Toba, nama ini dikenal
sebagai Sibagot Nipohan, sementara di wilayah lain nama Pohan tetap
digunakan. Sejak kecil, Pohan membimbing adik-adiknya dengan sangat
keras. Karena abangnya bersikap keras, mereka tidak berani untuk
membantah. Sebenarnya, hal ini jugalah yang menyebabkan keluarga Siboru
Baso Paet meninggalkan Balige Raja. Kepergian anak-anak yang
disayanginya ini menyebabkan Sorba Dibanua masygul. Usianya yang sudah
uzur membuat dirinya menjadi rentan sehingga dia jatuh sakit. Melihat
hal ini, Pohan menyuruh adik-adiknya mencari ramuan untuk dijadikan
obat. Mereka bertiga¾Paittua, Sabungan dan Oloan¾pergi ke dalam hutan untuk mencari ramuan yang dimaksud.
Cukup
lama mereka berkeliling di hutan tetapi ramuan yang dimaksud tidak juga
ditemukan. Karena sudah lama berada di hutan tanpa hasil, mereka
memutuskan untuk pulang dengan risiko bahwa mereka akan mendapat amarah
abang mereka Pohan. Setiba di kampung, Paittua dan kedua saudaranya
sangat terkejut. Mereka melihat orang ramai; sebagian sedang menggulung
tikar dan sebagian lagi merapikan perangkat gendang. Sewaktu ketiganya
bertanya tentang apa yang sedang terjadi, jawabannya lebih mengejutkan
lagi: “Pohan baru saja selesai mengadakan pesta untuk memberikan sulang-sulang
(makanan) kepada ayahandanya Sorba Dibanua.” Kalau tadinya mereka takut
akan dimarahi karena tidak membawa ramuan yang dicari, keadaannya pun
berbalik. Paittua bersama kedua saudaranya marah kepada Pohan dan
memprotes kejadian tersebut. Mereka menuduh Pohan sengaja menyuruh
mereka masuk hutan untuk menyingkirkan mereka. Inilah dialog di antara
mereka, yang dikutip dari buku Sejarah Batak, karya Batara Sangti dengan gelar Ompu Buntilan Simanjuntak:
Paittua dan Adik-adiknya:
“Na
so uhum do ale hahang pambahenan mi. Ia hami burju roha nami mangoloi
hatam laho mangalap pulung-pulungan tu harangan, hape hami do huroha na
naeng pasiding-sidingon mu, unang dohot hami margondang. Asa molo tung
hombar do i nuaeng pembahenan mi tu adat dohot uhum maradophon hami
anggim, ba rap horas ma hita. Alai anggo na mangalaosi do ho antong di
si, di adat dohot uhum ni Ompunta dohot Amanta, ba tung ho ma na sari di si.”
Sibagot Nipohan:
“Olo
anggia, taringot tu sarita muna i, ba alusanku ma jolo tutu. Taringot
tu si, ba ndang ahu na sala di si, asa hamu do na sala, ai malelenghu do
hamu asa ro. Tangkas do hu paboa na baru on tu hamu, tingki ni horja i,
jala hudok asa tibu hamu ro, ha pe malambathu do hamu. Molo tung na so
jumpa hamu nian pulung-pulungan i, ba tibu hamu mulak paboahon, asa boto
on marhusari. Ianggo on, dung jolo salpu horja asa mulak hamu, asa
ndang ahu na sala di si. Alai datik pe hudok songon i, ba na sihol do
ahu anggia maranggi. Ba pauk-pauk hudali, pago-pago tarugi, na tading
niulahan, na sega tapauli. Taulakhon pe mangan horbo santi sahali nari.”
Diaolog di atas diterjemahkan secara bebas sebagai berikut:
Paittua dan Adik-adiknya:
“Abang,
sungguh tidak patut tindakanmu ini. Engkau suruh kami masuk hutan untuk
mencari ramu-ramuan, tetapi rupanya itu engkau sengaja untuk menjauhkan
kami, agar engkau sendiri berpesta (margondang, penulis).
Kalau memang tindakanmu ini sesuai dengan adat dan hukum, mudah-mudahan
kita selamat. Akan tetapi, apabila tindakanmu itu tidak benar, biarlah
engkau sendiri yang menanggung akibatnya.”
Sibagot Nipohan: “Tentang
penyesalan kalian, baiklah saya jawab. Dari jauh hari telah saya
beritahukan tentang waktunya kita berpesta. Akan tetapi, kalian terlalu
lama tinggal di hutan tanpa kabar. Kalau pun ramuan-ramuan tidak
ditemukan, mengapa kalian tidak pulang saja dan kita cari jalan
keluarnya. Namun, karena saya juga sayang kepada kalian, nanti acara
seperti ini akan kita selenggarakan lagi.”
Apabila
kita simak dialog di atas, ada perbedaan pendapat tentang pesta dan
saat berpesta. Menurut Pohan, dari awal juga sudah diberitahukan
mengenai hari pestanya. Paittua dan adik-adiknya malah tidak menyinggung
hal itu dan mereka balik menuduh bahwa Pohan sengaja menyingkirkan
mereka. Mereka kemudian meninggalkan Pohan dengan hati yang kesal.
Akhirnya, mereka sepakat untuk pindah ke tempat lain karena Pohan
sendiri tidak lagi menginginkan kehadiran mereka di Balige Raja.
Sebagaimana diketahui, wilayah ini adalah daerah yang sangat subur dan
letaknya yang berada di pinggir Danau Toba cukup menjanjikan. Di
pinggiran danau terhampar dataran yang cukup luas yang dapat dijadikan
sebagai areal persawahan. “Tanah ini kelak dapat diwariskan kepada
anak-cucu,” begitu yang timbul dalam pikiran Pohan.
Walaupun
berperilaku keras, ternyata Pohan mau mengalah. Dia tidak mau di cap
adik-adiknya mau menang sendiri. Itulah sebabnya dia berkata: “ pauk-pauk hudali, pago-pago tarugi, na tading ta ulahi, na sega ta pa uli” yang
berarti bahwa, apabila ada sesuatu yang terlupakan, kita masih dapat
mengulanginya dan, apabila ada kesalahan, kita masih dapat diperbaiki.
Pohan menyarankan agar suatu waktu diadakan lagi pesta horbo santi.
Jawaban ini tidak berterima di hati Paittua dan adik-adiknya. Pesta
dapat saja dilakukan kapan saja, tetapi apa dasarnya? Pohan menjawab
bahwa pesta tersebut dapat dilakukan dalam rangka memindahkan
tulang-belulang adik mereka Juara. Ini dianggap Paittua dan adik-adiknya
sebagai sesuatu yang mengada-ada. Bagaimana mungkin tulang-belulang
orang yang meninggal tanpa keturunan dipindahkan dengan acara memukul
gendang dan memotong kerbau? Namun, mereka diam saja, tanpa membantah.
Akhirnya,
setelah tiba waktu yang telah ditentukan, pesta pun segera akan
dilaksanakan lagi. Pohan kembali menyuruh adik-adiknya mencari
bahan-bahan yang dibutuhkan. Paittua mencari rotan untuk digunakan
sebagai tambatan kerbau (borotan), Sabungan mencari kayu pilihan (haundolok) dan Oloan mencari dedaunan (sijagaron).
Mereka kembali meninggalkan kampung, tetapi bukan terutama untuk
mencari bahan-bahan yang dibutuhkan sesuai dengan yang diperintahkan
abangnya. Mereka lebih dulu berkelana untuk mencari pemukiman baru yang
dapat menjadi tempat mereka berpindah apabila suatu waktu mereka
berpisah dengan abangnya. Tidak dijelaskan bagaimana cara mereka
menelusuri tempat pemukiman baru tersebut, tetapi sebagaimana ternyata
kemudian Paittua memilih tempat di Laguboti dan Oloan memilih tempat di
Siogung-ogung, Pangururan. Sabungan yang belum menikah masih belum
merasa penting untuk memilih tempat pemukiman. Dia memilih tetap tinggal
untuk sementara bersama adik bungsunya Oloan di Siogung-ogung.
Setelah
semua bahan pesta yang yang diminta oleh abang mereka dianggap sudah
mencukupi, mereka pun pulang. Pohan sendiri memilih untuk berdiam diri
walaupun dia merasa dongkol karena mereka begitu lama berada di tengah
hutan, padahal bahan-bahan yang disuruh untuk dicari adalah bahan yang
mudah ditemukan di mana-mana. Rasa dongkolnya dia pendam dalam hati. Dia
hanya memerintahkan agar persipan untuk pesta segera dikerjakan. Pesta
pun berlangsung, walaupun tidak begitu meriah. Namun, ketika tiba waktu
pembagian jambar, terjadilah silang-selisih.
Paittua dan adik-adiknya menuntut agar seluruh jambar
dibagi dengan sama rata. Sebaliknya, Pohan mengatakan bahwa
bagian-bagian hewan kurban tertentu tidak boleh dibagi-bagi karena
bagian tersebut adalah persembahan untuk para leluhur. Kedua belah pihak
bersikukuh dengan pendiriannya dan tidak satu pun mengalah. Paittua dan
adik-adiknya, yang memang sudah bertekad untuk pindah dari Balige Raja,
memanfaatkan hal ini sebagai alasan. Sepertinya, mereka tidak ingin
melewatkan kesempatan tersebut. Perhatikanlah dialog berikut:
Sibagot Nipohan:
“Anggo angka parjambaran na ginoaran muna i, jambar ni suhut do i, jala sibahenon tu raga-raga, sipanganon horbo santi.”
Paittua dan Adik-adiknya:
“Ba
na laho di ho do hape angka jambar i sasude. Anggo songon i do, ndang
olo hami di si. Alani i, laho ma hami. Asa tung timus ni api nami pe,
molo dompak ho ingkon intopan nami. Nang gaol nami pe, molo
dompak ho jomba na, ingkon manigor tampulon nami. On pe, gabe i ma
gabem, mago i ma magom, tung na so guru di ho be hami.”
Diterjemahkan secara bebas sebagai berikut:
Sibagot Nipohan:
“Tentang bagian-bagian daging yang kalian minta, itu adalah hak tuan rumah, yang akan digunakan sebagai persembahan.”
Paittua dan Adik-adiknya:
“Oh, rupanya seperti itulah yang engkau inginkan, agar seluruh jambar
menjadi milikmu. Karena itu, kami akan pergi. Sejak saat ini, urus
sendirilah segala urusanmu dan jangan lagi kami diikutsertakan. Bahkan,
apabila asap api kami mengarah padamu akan kami padamkan dan apabila
jantung pisang kami mengarah padamu akan kami tebang.”
Paittua
dan adik-adiknya pun mengemasi barang-barang mereka, lalu pergi menuju
tempat yang semula telah direncanakan. Paittua memboyong keluarganya
menuju Laguboti dan Oloan bersama keluarganya dengan ditemani abangnya
Sabungan pergi menuju Siogung-ogung di Pangururan. Sejak kepergian
mereka, kelompok ini masing-masing menjadi kelompok yang berdiri
sendiri. Karena berpisah dengan jarak yang jauh, muncullah empat
kelompok baru dalam keturunan Tuan Sorba Dibanua yaitu: Sipaettua,
Silahi Sabungan, Siraja Oloan dan Sibagot Nipohan. Dan bagaimanakah
kisah selanjutnya dari Sabungan yang menemani adiknya cukup lama di
Siogung-ogung ? Inilah kisahnya.
Komentar
Posting Komentar